Bukan cuma Smackdown.
Salah satu keajaiban bangsa ini adalah betapa kita sangat pandai untuk memfokuskan diri pada satu hal kecil, padahal di belakang dan di sekelilingnya begitu banyak hal serupa (dan lebih parah!) yang terlewat begitu saja.
Kasus kali ini: Smackdown.
Lihatlah, berbagai pihak mengecam Smackdown dan meminta dihentikan penayangannya, "karena korban kekerasan akibat pengaruh tayangan ini terus bertambah" (Kompas).
“Saya mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meniadakan acara itu. Sampai sekarang masih ditayangkan dan memberi dampak negatif kepada anak. Kalau anak dibesarkan dalam kondisi permusuhan, maka dia akan besar dengan tingkah lalu[sic] perkelahian. Ini yang tidak diharapkan,” -- Ketua Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) Kota Bandung Kusmeni S Hartadi.
Ya itu betul. Tapi coba dicermati. Kondisi permusuhan. Tidakkah ini terdengar familiar?
Sinetron.
Film-film blockbuster.
Berita-berita perang antarsuku.
Pengusiran PKL.
Percayalah, Smackdown belum apa-apa jika dibandingkan dengan yang melintas di hadapan kita setiap hari, sepanjang hari, di Indonesia.
Juga di hadapan anak-anak kita tercinta.
Dan semua orang tahu tentang ini. Jadi jika kalian semua sungguh ingin membentengi anak-anak dari pengaruh negatif media, kerja luarbiasa berat sudah menanti.
Bahkan jika Smackdown sudah dilarang di TV, jika semua VCD dan CD PlayStation-nya dikumpulkan, dibakar dan dibuldozer, jika semua poster John Cena sudah dicabut dan dirobek-robek, itu belum sepersejuta dari apa yang harus dihadapi selanjutnya.
Silahkan letakkan kacamata kuda kita masing-masing, dan mari berperang bersama-sama. Saya ikut (tentu saja!).